Diposting dari : http://jogjacultural.blogspot.com
Istilah budaya atau kebudayaan memiliki cakupan makna yang amat luas, karena pada hakikatnya kebudayaan merupakan seluruh aktivitas manusia, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Memahami aktivitas manusia sebagai makhluk sosio-kultural berarti melahirkan tuntutan untuk memahami sistem atau konfigurasi nilai-nilai yang dipegang oleh manusia, karena cara berpikir, cara berekspresi, cara berperilaku, dan hasil tindakan manusia pada dasarnya bukan hanya sekadar reaksi spontan atas situasi objektif yang menggejala di sekitarnya, melainkan jauh lebih dalam dikerangkai oleh suatu sistem atau tata nilai tertentu yang berlaku dalam suatu kebudayaan.
Suatu tata
nilai budaya tertentu tidak selalu terumuskan secara eksplisit dan sistematik,
namun biasanya diam-diam telah bersemayam dalam kesadaran kolektif masyarakat
bersangkutan. Sistem nilai yang dimaksud biasanya meresap dan menggejala dalam
ide-ide, gagasan-gagasan, bahkan keyakinan-keyakinan tertentu yang menjadi
kerangka penuntun cara berpikir sekaligus isi pikiran, yang pada gilirannya
terekspresikan dalam pola perilaku dan hasil-hasilnya yang kongkrit dalam
kehidupan. Penyusunan naskah ini dimaksudkan agar tata nilai budaya Yogyakarta
terumuskan secara eksplisit dan sistematik sehingga dapat dijadikan acuan dan
sumber inspirasi bagi penyusunan strategi dan kebijakan pembangunan kebudayaan.
Secara mendasar, suatu tata nilai menyangkut hal-hal yang sakral dan yang profan (ranah religio-spiritual), kebenaran dan ketidakbenaran (ranah logika dan ilmu pengetahuan), kebaikan dan keburukan atau kejahatan (ranah etika), keindahan dan ketidakindahan (ranah estetika), dan kepatutan atau kesopanan dan ketidakpatutan atau ketidaksopanan (ranah etiket). Dalam tata nilai budaya Yogyakarta, nilai-nilai dasar tersebut terurai dalam nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai aspek kehidupan, yakni: (1) nilai religio-spiritual, (2) nilai moral, (3) nilai kemasyarakatan, (4) nilai adat dan tradisi, (5) nilai pendidikan dan pengetahuan, (6) nilai teknologi, (7) nilai penataan ruang dan arsitektur, (8) nilai mata pencaharian, (9) nilai kesenian, (10) nilai bahasa, (11) nilai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya, (12) nilai kepemimpinan dan pemerintahan, (13) nilai kejuangan dan kebangsaan, dan (14) nilai semangat khas keyogyakartaan.
Dalam suatu
sistem nilai kebudayaan tertentu, di satu pihak senantiasa diyakini terdapat
ideal-ideal yang harus dikiblati, namun di lain pihak selalu terjadi
distorsi-distorsi, bahkan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek kehidupan.
Meskipun harus diakui bahwa dalam perilaku kongkrit masyarakat Yogyakarta boleh
jadi terjadi distorsi dan penyelewengan atas nilai-nilai yang diidealkan (adiluhung),
namun dalam naskah Tata Nilai Budaya Yogyakarta ini tetap dirumuskan
ideal-ideal yang diyakini sebagai kiblat dalam meraih keutamaan, karena pada
hakikatnya manusia itu bukan hanya “produk” kebudayaan belaka, melainkan juga
sekaligus “pencipta” kebudayaan. Oleh karena itu, manusia dapat dan bahkan
harus merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan
bersama yang lebih berkeadaban.
Tata nilai
budaya Yogyakarta ialah tata nilai Budaya Jawa yang memiliki kekhasan dalam
semangat pengaktualisasian nilai-nilai kejawaan pada umumnya. Tata Nilai Budaya
Yogyakarta merupakan sistem nilai yang dijadikan kiblat (orientasi), acuan
(referensi), inspirasi, dan sumber pedoman bagi perilaku budaya dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kehidupan budaya masyarakat Yogyakarta.
1. Tata Nilai
Religio-Spiritual
Dunia yang
tergelar dengan seluruh isinya termasuk manusia ini berasal dari Tuhan dan
kelak akan kembali kepada Tuhan (mulih mula mulanira). Tuhan ialah
asal-muasal dan tempat kembali segala sesuatu (sangkan paraning dumadi).
Dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas, Tuhan menciptakan dunia beserta isinya (jagad
gedhé; makrokosmos), termasuk manusia (jagad cilik; mikrokosmos),
dengan keagungan cinta kasih-Nya. Tuhan adalah penguasa di atas segala penguasa yang pernah ada di dunia.
Tuhan tidak dapat digambarkan dengan perumpamaan apa pun (tan kena kinaya
apa). Ciptaan Tuhan beraneka ragam wujud dan derajatnya, berubah-ubah, dan
bersifat sementara (owah gingsiring kanyatan, mobah mosiking kahanan),
bahkan manusia hidup di dunia ini hanyalah bersifat sementara seakan-akan
sekadar singgah sejenak untuk meneguk air (urip iku bebasan mung mampir
ngombé), sedangkan Tuhan merupakan Kenyataan Sejati (Kasunyatan
Jati) yang bersifat Azali dan Abadi, tiada berawal pun pula tiada
berakhir. Tuhan adalah dzat yang meliputi segala sesuatu, tetapi tidak
dapat diinderai dengan cara apa pun (adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa
sénggolan). Meskipun demikian, Tuhan senantiasa menyertai dan mengawasi
dunia ini sehingga tiada satu peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di luar
penglihatan Tuhan (Pangeran iku ora saré).
Dunia dengan segala isinya yang diciptakan Tuhan ini beraneka rupa wujudnya
dan berjenjang-jenjang derajatnya. Namun demikian semua tertata dan terkait satu sama lain secara selaras,
serasi, dan seimbang (harmonis). Masing-masing unsur atau komponen memiliki
peran dan fungsi yang telah ditentukan secara kodrati oleh Tuhan, sehingga
apabila terjadi ketidaktepatan posisi atau ketidaktepatan fungsi atas salah
satu unsur atau komponen, maka terjadilah kekacauan (disharmoni). Kekacauan
pada satu satuan kenyataan (unit realitas) akan mengguncangkan seluruh tatanan
alam semesta (kosmos). Disharmoni pada mikrokosmos akan mempengaruhi harmoni
makrokosmos, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, manusia sebagai
mikrokosmos yang dibekali kesadaran akan cipta, rasa, dan karsa, wajib menjaga
harmoni alam semesta ini dengan tanpa pamrih pribadi yang sempit atau hawa
nafsu egoisme, melainkan harus dengan rela hati lahir batin (lila
legawa lair trusing batin) bersungguh-sungguh berusaha keras
secara terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan
menjaga kebenaran (bener), kebaikan (becik), keindahan (hayu),
keselamatan dan kelestarian (rahayu) dunia (hamemayu hayuning
bawana).
Dunia yang benar, baik, indah, selamat, dan lestari itu tampak menggejala
dalam kehidupan yang serba tertib dan teratur (tata), semua kegiatan
kehidupan dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi), sehingga
membuahkan ketenteraman (tentrem), kemakmuran dan kesejahteraan (karta
raharja). Dalam kehidupan nyata seringkali terjadi peperangan antara
keteraturan dan kekacauan. Manusia wajib menegakkan keteraturan dengan
menghapus kekacauan (memasuh malaning bumi). Semua itu bisa terlaksana
apabila manusia berusaha keras mengerahkan akalbudi dan segenap kemampuannya
untuk mewujudkannya (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa).
Itulah darma bakti yang harus dilaksanakan oleh manusia kepada Tuhan, sebagai
makhluk paling mulia yang diciptakan-Nya.
Dalam usaha menapaki kehidupan, manusia harus sadar bahwa seluruh daya
upaya yang dikerahkannya memiliki keterbatasan. Bagaimanapun juga, Tuhanlah
yang akan menentukan kehidupan tiap-tiap orang. Oleh karena itu, setiap orang
harus ikhlas (lila legawa) dan dengan sabar menerima (sabar narima)
peran dan nasib perjalanan hidupnya. Kematian, jodoh, anugerah, garis nasib,
dan rejeki bagi tiap-tiap orang merupakan kepastian yang telah ditentukan
oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat, lima bandha).
Manusia sekadar menjalani hidup ini (manungsa saderma nglakoni, kaya wayang
upamané) sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Akan tetapi, nilai-nilai
seperti itu bukan berarti mengajak manusia untuk pasrah total tanpa usaha dalam
hidup (fatalistik), melainkan dimaksudkan sebagai kerendahhatian agar hendaknya
manusia tidak sombong senantiasa merasa bisa melakukan apa saja (rumangsa
bisa), namun harus tahu diri akan keterbatasan kemampuannya (bisa
rumangsa; ngrumangsani), jangan mendikte kehendak Tuhan (aja
nggégé mangsa), dan pandai-pandailah bersyukur (narima ing pandum).
Dalam batas kewajaran manusia harus tetap berusaha (mbudidaya)
meningkatkan taraf harkat dan martabat kehidupannya, di antaranya dengan
mengusahakan dan terus-menerus meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian
atau ilmu (wirya, arta, tri winasis) yang dimilikinya. Dengan memiliki
dan meningkatkan ketiga hal itu, diharapkan kehidupannya menjadi lebih benar,
lebih baik, lebih indah, dan lebih bijaksana, bahkan sedapat mungkin menjadi
orang yang sejahtera, berbahagia, dan berpengaruh secara luas karena memiliki kedudukan
yang penting dalam masyarakat (mukti wibawa mbaudhendha). Meskipun
mencari harta dan kedudukan lahiriah memang dianjurkan, namun dimensi batiniah
tetap lebih diutamakan (sugih tanpa bandha).
Pada dasarnya tidak seorang pun mengetahui dengan pasti garis hidupnya.
Oleh karena itu, upaya keras mengubah nasib masih tetap terbuka lebar dengan
cara lebih tekun berusaha dan lebih khusuk berdoa (nang donya kang sugih
puji, yèn sira temen satuhu, tuhu teka dennya muja), sebab apa yang
tampaknya seakan-akan telah digariskan sesungguhnya masih dapat diubah dengan
doa dan ikhtiar kerja keras secara tepat (kodrat bisa diwiradat). Dengan
demikian, sebaik-baik sikap hidup ialah merampungkan segala urusan keikhtiaran
sampai derajat tertinggi menurut kemampuan manusiawinya (mupus),
kemudian menunggu keputusan Tuhan dengan pengharapan yang baik.
Agar dalam hidupnya manusia banyak mendapatkan keselamatan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan dijauhkan dari malapetaka (rahayu ingkang sami pinanggih,
widada nir ing sambikala), maka manusia harus senantiasa mendekatkan diri
kepada Tuhan. Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan benar hendaklah dimulai
dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela lima M (ma-lima), yakni
membunuh (mateni), mencuri (maling), berjudi (main),
berzina (madon), menghisap candu atau narkoba jenis apa pun dan
meminum minuman keras yang dapat mengakibatkan lupa diri (madat; mendem;
mabuk).. Di samping itu, agar proses mendekatkan diri kepada Tuhan berhasil
dengan baik, manusia harus mengurangi kenikmatan duniawi dan senantiasa waspada
terhadap godaan nafsu duniawi yang menggiurkan (cegah dhahar lawan guling, kaprayitnan
dèn kaesthi), mengontrol dan membimbing nafsunya dari yang paling rendah
menuju derajat tertinggi (lauwamah – amarah – supiyah – muthmainah).
Berkomunikasi secara spiritual dengan Tuhan itu bertahap-tahap dan
berjenjang-jenjang, dari bentuk-bentuk yang paling lahiriah sampai yang paling
batiniah (saréngat – tarékat – hakékat – makripat; sembah raga – sembah
cipta – sembah jiwa – sembah rasa). Manusia harus mengerti sampai di
mana jenjang kedekatan dirinya dengan Tuhan dan harus senantiasa berusaha keras
agar semakin dekat dengan Tuhan menurut keyakinannya.
Dalam berkomunikasi spiritual dengan Tuhan, setiap orang memiliki kebebasan
penuh beribadah menurut tata cara kepercayaan-keagamaan yang diyakininya. Tidak
seorang pun berhak untuk memaksakan kepercayaan-keagamaannya kepada siapa pun
dan dengan cara apa pun dan memaksakan tata cara peribadatan apa pun yang
diyakininya kepada siapa pun. Demikian pula tidak seorang pun berhak melarang
atau menghalang-halangi seseorang atau sekelompok orang untuk berkomunikasi
dengan Tuhan menurut kepercayaan-keagamaan dan tata cara peribadatan yang
diyakininya, karena kepercayaan/keagamaan merupakan hak azasi mansia yang
secara kodrati melekat pada tiap-tiap orang. Perbedaan keyakinan merupakan
kewajaran yang harus dihormati oleh setiap orang. Orang harus toleran dan
menjaga perasaan orang lain (amemangun karyénak tyasing sasama) dalam
keberbedaan keyakinan satu sama lain. Tidak seorang pun layak merasa paling
benar ketakwaannya kepada Tuhan (ora golèk beneré dhéwé) karena
peribadatan yang dijalankannya, sebab derajat ketakwaan seseorang lebih dinilai
dari perilaku kongkritnya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tata Nilai Moral
Menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia harus dimulai dari diri
manusia sendiri dengan menjaga kebenaran pemikiran dan ucapan, kebaikan
perilaku, keharmonisan dan keindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan
sesama manusia, dengan alam semesta, dan terutama dengan Tuhan. Kebenaran
pemikiran dan ucapan membuahkan kejujuran, dan kejujuran membuahkan kebaikan.
Terdapat kepastian yang tak terelakkan bahwa barang siapa berbuat baik dengan
benar, niscaya dia akan tegak dan barang siapa berbuat salah dengan cara apa
pun, pasti dia akan runtuh (wong bener jejer, wong salah sèlèh), tidak
peduli apakah dia seseorang yang berdarah biru (trahing kusuma rembesing
madu, wijining atapa, tedhaking andana warih) atau berharta dan berkedudukan
sosial tinggi (bèr bandha bèr bandhu, kajèn kèringan), ataukah orang
kecil (wong cilik) dengan status sosial rendah (wong pidak pejarakan). Sesungguhnya, harkat dan martabat seseorang lebih
ditentukan oleh kata dan perbuatannya (ajining dhiri saka lathi lan pakarti).
Barang siapa berbuat baik tampaklah kebajikannya, barang siapa berbuat
kejahatan akan ketahuan pula keburukannya, dan barang siapa berbuat kejahatan
niscaya akan akan sirna keberuntungan dan keberkatannya, dan dijauhkan
dari kasih sayang dan anugerah Tuhan (becik ketitik ala ketara, sapa kang
agawé ala bakal sirna wahyuné). Sehebat apa pun kekuatan keangkaramurkaan
akan dapat ditundukkan oleh kebajikan (sura sudira jayaning kang rat, swuh
brastha tekaping ulah darmastuti).
Dunia ini berputar dan berubah, begitu pula dengan nasib manusia juga
berubah-ubah, berputar, berganti (cakramanggilingan). Oleh karena itu
manusia jangan mudah takjub dengan kesementaraan perubahan yang memukau (aja
gumunan, aja kagetan), dan jangan pula menyombongkan diri dan meremehkan
orang lain dikala dirinya berjaya sementara orang lain sedang sengsara (aja
dumeh). Boleh jadi suatu saat nanti status sosial seseorang atau keturunan
orang yang status sosialnya tinggi menjadi sengsara, sementara orang
kecil atau keturunan orang yang berstatus sosial rendah malahan bisa berjaya (tunggak
jarak mrajak, tunggak jati mati). Manusia harus berhati-hati dalam
bertindak, jangan sampai melukai dan atau merugikan pihak lain. Setiap
perbuatan yang dilakukan pasti akan berbuah akibat yang diterima oleh pelakunya
(ngundhuh wohing pakarti). Perbuatan baik akan berbuah kebajikan,
perbuatan buruk akan berbuah keburukan (sapa kang nandur bakal ngundhuh,
sapa kang gawé bakal nganggo, sapa kang utang bakal nyaur).
Watak mulia harus diikhtiarkan dengan menjauhi perangai buruk seperti
angkuh, bengis, jahil, serakah, panjang tangan, gila pujian (aja ladak lan
jail, aja serakah, aja celimut, aja mburu aleman). Jangan menyombongkan
kepandaian, harta, paras elok, dan busana (aja sira ngegungaken akal, bagus
iku dudu mas picis, lawan dudu sandhangan). Jangan pula menyombongkan diri
dengan keberanian, suka menantang untuk bertengkar, tidak tahu malu, iri hati,
dengki, dan suka mencela orang lain (aja watak sira sugih wani, aja sok
ngajak tukaran, aja anguthuh, aja ewanan lan aja jail, poma sira aja drengki,
dahwen marang ing sasama). Dalam hidup hendaklah orang jangan menyombongkan
diri dengan berlebih-lebihan membanggakan kekuatan baik fisik, harta, maupun
kekuasaanya, keagungan keturunan atau kebesaran derajat sosialnya, dan
kepandaiannya (aja adigang, adigung, adiguna).
Semua watak buruk itu harus dihindari, dijauhi, dan ditinggalkan. Orang
harus senantiasa berusaha menanam kebajikan dan terus-menerus menyemai budi
luhur sebagai keutamaan (nandur kabecikan, ndhedher kautaman). Orang
yang baik selalu berusaha menyenangkan hati orang lain (amemangun karyénak
tyasing sesama), seperti mengemukakan pendirian secara lembut (pambegané
alus; landhep tanpa natoni), berhati-hati dalam berbicara (yèn angucap
ngarah-arah), tingkah dan tutur katanya bersahaja (tingkah una-niné
prasaja), setiap ucapannya terasa sejuk menembus kalbu karena dilandasi
nurani yang bersih (saujaré manis trus ati), bertenggang rasa dan
berbelas kasih kepada semua makhluk hidup (kèh tepané mring sagunging urip).
Pendek kata, semua makhluk ingin dibahagiakannya (sama dèn arah raharjané).
3. Tata Nilai Kemasyarakatan
Masyarakat (bebrayan agung) dipahami sebagai suatu keluarga tetapi
keluarga yang besar. Landasan utama suatu keluarga ialah kasih sayang (sih
kinasihan; asih ing sesami) di antara para anggotanya. Hidup
bermasyarakat haruslah dilandasi oleh kasih sayang dengan mewujudkan dan senantiasa
menjaga kerukunan. Kerukunan merupakan tiang utama kehidupan kemasyarakatan,
karena kerukunan memberikan kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan
kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé bubrah). Apabila timbul
persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus diselesaikan sebaik-baiknya
dengan bermusyawarah secara kekeluargaan (ana rembug ya dirembug),
karena masyarakat itu sejatinya merupakan suatu keluarga besar.
Seandainya terjadi percikan konflik tidak perlu dibesar-besarkan (kriwikan
dadi grojogan), karena dapat melibatkan semakin banyak pihak dalam
pertikaian sehingga semakin mengeruhkan permasalahan yang timbul. Suatu perselisihan lebih baik dihadapi dan
diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dan,
apabila seseorang merasa benar dan memperoleh kemenangan atas suatu
penyelesaian perselisihan, janganlah pihak yang menang itu merendahkan atau
menghinakan pihak yang kalah (menang tanpa ngasoraké). Bagaimanapun
juga, yang kalah itu tetaplah manusia yang harus dijaga harga dirinya, dijaga
martabatnya. Pendek kata, siapapun dia dan bagaimanapun posisinya, setiap orang
harus tetap dimanusiakan (diuwongké). Dalam hidup bersama, di antara
anggota masyarakat hendaklah saling berbagi ilmu dan pengalaman (asah)
agar semakin cerdas mengelola kehidupan, saling mengasihi (asih) agar
semakin nyaman menikmati kehidupan, dan saling membimbing (asuh) agar
semakin matang menjalani kehidupan. Itulah hidup bersama yang disemangati dan
dihiasi oleh kemanusiaan. Sesungguhnya keselamatan dan kesejahteraan manusia
itu dapat terwujud bilamana nilai-nilai kemanusiaan senantiasa terjaga (rahayuning
manungsa dumadi karana kamanungsané).
Hidup bersama dalam masyarakat dituntut adanya solidaritas atau
kesetiakawanan sosial antaranggota masyarakat, baik dalam keadaan senang maupun
susah (sabaya mati, sabaya mukti). Satu sama lain harus tolong-menolong,
bantu-membantu, sehingga setiap permasalahan yang timbul dapat dihadapi dan
diselesaikan secara lebih ringan dan memadai. Terlebih lagi, dalam menangani
urusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, antaranggota masyarakat
hendaknya seia-sekata, bekerja sama, bergotong-royong bahu-membahu (saiyek
saéka kapti) merampungkan urusan bersama dengan sebaik-baiknya. Bahkan,
demi kepentingan umum, orang janganlah berhitung-hitung akan imbalan bagi
pekerjaan yang dilakukannya (sepi ing pamrih, ramé ing gawé) karena
bekerja demi kepentingan umum itu merupakan wujud keutamaan tugas yang harus
diemban manusia sebagai makhluk Tuhan dalam rangka memperindah dan menjaga
kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana), agar dunia senantiasa
dapat memberi perasaan aman dan damai (ayom ayem) bagi penghuninya.
Untuk menjaga kohesi dan harmoni kehidupan sosial, hubungan antaranggota
masyarakat dilandasi oleh prinsip hormat. Penghormatan ini pertama-tama
diberikan kepada kedua orang tua (ingkang dingin rama ibu), mertua
lelaki dan perempuan (kaping kalih maratuwa lanang wadon), saudara tua (kaping
katri marang sadulur tuwa), guru (kaping paté mring guru sayekti),
kepada pemimpin atau atasan (kapling lima marang gustinira). Secara
umum, yang muda harus menghormati yang tua atau yang dituakan. Sebaliknya, yang
tua atau yang dituakan wajib menghargai, melindungi, membimbing, dan menyayangi
yang muda. Prinsip hormat ini dijalankan agar tiap orang bersedia memanusiakan
orang lain dan dari lain pihak dirinya juga merasa dimanusiakan oleh orang lain
(nguwongké lan diuwongké). Pararel dengan prinsip memanusiakan orang itu
ialah prinsip empati dan timbal-balik (tepa salira), suatu prinsip yang
menempatkan diri sendiri pada diri orang lain sehingga orang akan berhati-hati
dan bertindak adil kepada orang lain karena dalam diri orang lain itu
bersemayam pula dirinya yang akan ikut merasakan akibat tindakannya. Dengan
demikian, setiap orang tidak merasa terasing dan senantiasa menjadi bagian tak
terpisahkan dari orang lain dalam masyarakatnya.
Prinsip hormat yang lebih bersifat batiniah itu diekspresikan secara
lahiriah dalam wujud sopan santun (tata karma; unggah-ungguh). Sopan
santun itu menjauhkan orang dari celaan (tata krama iku ngadohaké ing
panyendhu). Dalam pergaulan orang harus pandai mengemas dirinya dengan
bahasa, busana, dan gerak-gerik anggota tubuh secara santun dan sedapat mungkin
menyenangkan hati orang di sekitarnya. Agar dapat membawa diri dengan tepat
dalam pergaulan, orang harus pula dengan cermat menyesuaikan ketiga kemasan
tadi dengan waktu, tempat, dan konteks. (angon mangsa, empan papan, duga
prayoga). Dasar terdalam dari semua itu ialah sikap batin yang harus dijaga
bahwa menghormat itu bukanlah wujud kerendahdirian melainkan wujud
kerendahatian.
4. Tata Nilai Adat dan Tradisi
Adat berarti sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat tertentu. Adat
berupa nilai-nilai yang dikemas dalam norma-norma tertentu. Nilai dan norma
yang terkandung dalam suatu adat diekspresikan dalam bahasa, tutur kata,
gerak-gerik tubuh, perilaku, tatacara, hukum, atau serangkaian perbuatan
tertentu yang dianggap sebagai suatu aktivitas yang memang patut, bahkan harus,
dilakukan. Adat yang berisi nilai dan norma tertentu yang melembaga menuntut
ketaatan dari komunitas pendukungnya.
Adat yang melembaga dan dijalankan terus-menerus secara turun-temurun
disebut tradisi. Dengan perkataan lain, tradisi merupakan pemberlangsungan adat
secara terus-menerus, turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Adat yang diekspresikan dalam kehidupan kongkrit sehari-hari disebut “cara
hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar, lazim, dan sudah
semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang dilaksanakan secara resmi
dan melibatkan banyak orang biasanya disebut “upacara”. Upacara merupakan media
atau wahana bagi ekspresi suatu adat. Dengan upacara, adat yang bermuatan nilai
dan norma tertentu yang bersifat abstrak itu kemudian “diikrarkan”, dinyatakan,
diwujudkan.
Setiap pelaksanaan upacara adat menuntut sejumlah syarat tertentu,
baik para pelaku, waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé).
Suatu upacara adat akan memiliki nilai yang tinggi apabila semua persyaratan
tersebut terpenuhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap upacara
adat yang dilaksanakan selalu mengandung maksud atau keperluan tertentu, di
antaranya untuk pemujaan, permohonan, pencucian, penolakbalaan, inisiasi,
ungkapan kesyukuran, pengukuhan, atau sekadar pengekspresian kegembiraan. Dalam
praktek, suatu upacara adat acap kali merupakan gabungan ekspresi dari sejumlah
maksud di atas sekaligus. Namun di atas segala-galanya, di setiap upacara adat
pasti terkandung niat memohon keselamatan. Keselamatan merupakan kata kunci
dalam setiap upacara adat, dan oleh karenanya dalam setiap upacara adat
selalu terdapat acara berdoa memohon keselamatan (slametan; wilujengan)
dengan berbagai cara dan sarana. Dalam suatu upacara adat biasanya akan
ditampakkan simbol-simbol kesakralan, kekhidmatan, keagungan, keindahan, dan
bahkan keceriaan. Adat dan tradisi yang menggejala dalam upacara-upacara
tersebut hendaklah dipelihara dan dikembangkan, karena dalam setiap upacara
adat senantiasa terdapat nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang dikandung dan
dipesankannya.
5. Tata Nilai Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia yang bertujuan untuk
menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan kualitas kecerdasan kehidupannya, baik
kecerdasan kejiwaan yang meliputi religio-spiritualitas (takwa), moralitas
(karsa), emosionalitas (rasa), dan intelektualitasnya (cipta), maupun kesehatan
dan pengembangan raganya. Oleh karena itu, kepada peserta didik bukan hanya
dibekali ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan teknis suatu pekerjaan,
melainkan harus ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang amat mendasar bagi
kehidupannya sebagai makhluk yang berbudaya. Konsekuensinya, penyelenggaraan
pendidikan harus mengedepankan penanganan dan penyediaan fasilitas yang baik
bagi penumbuhan, pengelolaan, dan peningkatan ketakwaan, akhlak atau budi
pekerti, kesopansantunan, seni budaya, kecakapan, ketrampilan, dan kesehatan
beserta ketrampilan jasmani peserta didik. Penyenggaraan pendidikan harus
membuka peluang seluas-luasnya bagi aktualisasi diri dan pengembangan atas
segenap potensi yang dimiliki peserta didik.
Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil pengenalan secara akumulatif
dan terus-menerus yang dilakukan manusia terhadap diri sendiri dan apa saja di
luar dirinya, baik mengenai benda-benda tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan,
sesama manusia, maupun hal-hal yang bersifat adi-duniawi (supranatural). Dalam
konteks hidup bersama dan konteks kesejarahan, pengetahuan sebagai hasil
pengenalan manusia secara kolektif dipraktekkan, dipertukarkan, diajarkan,
dihimpun, dikoreksi, dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman.
Pengetahuan merupakan sarana yang penting bagi manusia dalam rangka menunaikan
tugas mulianya, yakni mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan,
keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana).
Dalam sejarah peradabannya yang panjang, budaya Jawa Yogyakarta telah
memiliki begitu banyak pengetahuan mulai dari pengetahuan bercocok tanam (olah
tetanèn), perhitungan musim dan iklim (pranata mangsa), peternakan
dan perikanan, hewan piaraan (klangenan), pertukangan (kawruh kalang),
metalurgi atau ilmu pengolahan logam baik logam biasa maupun logam mulia (mranggi),
batu mulia, pertekstilan baik tenun maupun batik, peralatan rumah tangga,
ukiran kayu dan logam, sarana transportasi, perancangan bangunan (arsitektur),
penataan bangunan dan kawasan pemukiman (planologi), seni olah boga, seni tata
busana (ngadi busana), seni perawatan tubuh dan kecantikan (ngadi
salira), pengobatan (reracik jampi), hingga numerologi (ngèlmu
pétung), dan masih terdapat seribu satu pengetahuan lain yang kesemuanya
itu merupakan kearifan lokal dan kekayaan budaya yang amat berharga, dan oleh
karenanya perlu dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan
zaman.
Bermacam ragam wujud pengetahuan yang dimiliki komunitas Jawa Yogyakarta
tersebut merupakan pengetahuan dari yang bersifat teoritik sampai yang bersifat
praktik, dari pengetahuan yang bersifat spiritual sampai ke pengetahuan yang
bersifat material. Dalam praktek, sebenarnya tidak pernah ada pengetahuan yang
memiliki satu dimensi saja. Pengetahuan yang tampaknya berdimensi praktik
belaka, pada dasarnya juga memiliki dimensi teoritiknya. Pengetahuan yang
tampaknya berdimensi material belaka, pada dasarnya juga memiliki dimensi
spiritualnya. Begitu pula sebaliknya. Setiap pengetahuan yang bersifat kejawaan
sebenarnya bersifat multidimensi. Keterbukaan dan kelenturan budaya Jawa
Yogyakarta telah memperkaya khasanah pengetahuan yang dimilikinya karena
pengetahuan yang datang dari berbagai penjuru sepanjang zaman senantiasa
diakomodasi, diadopsi, diadaptasi, dan disinkretisasi dengan pengetahuan
ciptaan sendiri dengan mengindahkan prinsip keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan antara yang lahiriah (material) dan yang batiniah (spiritual),
antara yang profan dan yang sakral, antara yang bersifat fisik dan yang
bersifat metafisik, antara yang duniawi (natural) dan adi-duniawi
(supranatural), antara yang rasional dan yang supra-rasional, dan antara yang
bersifat individual dan yang bersifat komunal dan sosial.
Mencari pengetahuan itu wajib hukumnya bagi setiap orang. Pencarian
pengetahuan harus dijalani dengan usaha keras agar dapat dicapai hasil yang
memadai (ngèlmu iku kelakoné kanthi laku). Usaha keras itu harus dilandasi
dengan kemauan keras, kesungguhan hati, tekad, dan semangat, karena keempat hal
itu akan memberikan kekuatan, ketabahan, dan kegigihan (lekasé lawan kas,
tegesé kas nyantosani). Di samping itu, yang utama adalah keteguhan hati
untuk tetap tegar menghadapi godaan hawa nafsu yang dapat menyesatkan (setya
budya pangekesé dur angkara). Dengan demikian, pengetahuan yang dicari akan
diperoleh dengan saksama dan berguna bagi kehidupan baik untuk diri sendiri
maupun untuk masyarakat, baik untuk kehidupan duniawi maupun kehidupan
ukhrowi.
6. Tata Nilai Teknologi
Teknologi pada hakikatnya merupakan praktek penyiasatan atau rekayasa yang
dilakukan oleh manusia untuk mempermudah dalam memenuhi kebutuhan, dan bahkan
keinginan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Kecakapan dan ketrampilan
teknologis bukan hanya dipergunakan untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi,
dan pengendalian alam, melainkan kini telah merambah ke bidang administrasi dan
manajemen. Dengan siasat dan rekayasa teknologis, manusia semakin memperoleh
kemudahan, kenikmatan, dan kenyamanan hidup.
Dalam sejarah peradaban yang panjang, budaya Yogyakarta telah memiliki
begitu banyak dan beragam kecakapan dan ketrampilan teknologis. Kecakapan dan
ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam,
meliputi kegiatan memenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pemukiman, dan
pengelolaan lingkungan hidup, telah dipraktekkan dengan prinsip keselarasan,
serasian, dan keseimbangan antara ekploitasi dan konservasi, antara pemenuhan
kebutuhan masa kini dan keberlanjutannya bagi masa depan (lumintu;
sustainable), jangan sampai terjadi keserakahan eksploitasi secara
berlebihan (angkara murka) sehingga dapat mengguncangkan dan merusak
harmoni alam. Kelestarian alam amat ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan
manusia (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa). Keguncangan
dan kerusakan alam sebagai makrokosmos akan mengguncang dan merusak
keharmonisan kehidupan manusia sebagai mikrokosmos.
Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya manusia dipraktekkan dengan dilandasi oleh prinsip
kemanusiaan. Manajemen sumber daya manusia dimaksudkan agar manusia dapat
bekerja secara lebih produktif, lebih efisien, lebih kreatif dan inovatif,
namun harus dihindari perlakuan-perlakuan yang ekploitatif sehingga merendahkan
harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pengelolaan sumber daya manusia bukan
dimaksudkan untuk memeras dan merendahkan derajat manusia, melainkan justru
untuk memuliakannya. Sesungguhnya, keselamatan dan kesejahteraan umat manusia
hanya bisa terwujud apabila manajemen sumber daya manusia dilandasi oleh peri
kemanusiaan (rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsané).
7. Tata Nilai Penataan Ruang dan Arsitektur
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Yogyakarta
telah diletakkan dan disusun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan
oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton (baik sebagai pusat
spiritual, kekuasaan, maupun budaya), penentuan wujud dan penamaan sosok
bangunan hingga detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit
bangunan, penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan,
bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara
simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan hidup manusia dan
keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan
manusia dengan alam.
Perjalan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman
dalam alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga
Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup
manusia sejak lahir dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”,
representasi gender perempuan) dan benih manusia (wiji; dilambangkan
dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak), kemudian memasuki
masa remaja (enom; sinom; dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang
senantiasa menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran
tanaman pohon asem atau asam jawa) dan penuh sanjungan
(dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah melewati masa
remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh
(dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani;
dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau
jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya
(dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi
pagar berbentuk busur).
Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan
manusia pada tahap saling menyukai lawan jenis, yang kemudian dilanjutkan
ke jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki
(dilambangkan dengan tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di
Sitihinggil Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka yang
berbunga merah). Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan
bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon pelem atau
mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan didasari kemauan dan cinta kasih
di antara keduanya, mengucur deraslah “benih” atau sperma menjumpai “telor”
atau ovum (kaderesan sihing sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu
dersana), sehingga menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan
dengan tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak akan
lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan Kemagangan) manusia
dewasa.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali
kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu
Pal Putih hingga Kraton sektor utara melambangkan perjalanan manusia menghadap
Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia
harus memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig;
dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa
untuk menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu
Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal
Putih). Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan keutamaan (dilambangkan
denganMargatama, nama jalan dari tugu ke selatan sampai kawasan
Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan
berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan Malioboro)
berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya;
dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang
menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara). Dalam menempuh perjalanan itu,
diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem;
dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan
teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam yang dahulu
ditanam di sepanjang jalan Margatama – Malioboro - Margamulya).
Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan
perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak
mudah jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan
ombak yang dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah
perjalanan hidup berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu
dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti;
dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu
giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju;
dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia,
untuk kemudian memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan
dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa,
lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono I
hingga sekarang). Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan, beserta tanaman
dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap
kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu
Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia
kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan
kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk
bersamadi di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara;
pandangannya lurus ke utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung
Merapi). Sultan sebagai multi pemimpin, baik dalam bidang politik kenegaraan,
kemasyarakatan, kebudayaan, maupun keagamaan (Sayidin Panatagama,
Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan ruang publik bagi aktivitas
rakyatnya, baik yang bersifat spiritual-keagamaan (disimbolkan dan berwujud
bangunan Mesjid Gedhé di sebelah barat Alun-Alun Utara),
sosio-budaya (disimbolkan dan berwujud Alun-Alun), dan perekonomian
(disimbolkan dan berwujud Pasar Beringharjo). Bangunan kraton, masjid besar,
alun-alun, dan pasar merupakan pengejawantahan konsep Caturgatra
Tunggal, yakni konsep yang menyinergikan empat anasir secara harmonis bagi
kesejahteraan kehidupan masyarakat, baik kesejahteraan lahiriah maupun batiniah.
Simbolisasi hubungan sinergis manusia dengan alam pertama-tama tampak pada
pemilihan atas lokasi Negari Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilakukan oleh
Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Posisi
geografis Yogyakarta diapit oleh enam sungai dalam formasi tiga lingkar sungai. Lingkar pertama ialah Kali Code di sebelah timur
dan Kali Winanga di sebelah barat. Lingkar kedua terdapat Kali Gajahwong di
sebelah timur dan Kali Bedog di sebelah barat. Sedangkan lingkar ketiga ialah
Kali Opak di sebelah timur dan Kali Progo di sebelah barat. Secara matematis,
formasi itu menggambarkan bangun siklis-konsentris. Dalam bangun matematis
seperti itu, kraton merupakan pusatnya (konsentris) dan pasangan sungai-sungai
tadi menjadi lingkarannya (siklis). Lingkar pertama melambangkan pusat energi
yang dalam konsep tri hita karana merupakan manifestasi kehidupan raja dengan
segala keagungannya (ratu gung binathara; persemayaman parahyangan).
Lingkar kedua di luarnya melambangkan kehidupan khalayak ramai (pawongan).
Sedangkan lingkar ketiga di lapisan paling luar melambangkan sumber kehidupan
berupa tanah dan air (palemahan).
Di samping formasi siklis-konsentris, tata rakit keruangan Yogyakarta juga
memiliki formasi linier, yang tampak dalam “garis lurus” simbolis-filosofis
berupa jajaran letak Gunung Merapi - Tugu Golong-Gilig - Kraton -
Panggung Krapyak - Laut Selatan. Dalam rangkaian lima “titik” itu, tiga titik
merupakan poros utama, yakni Gunung Merapai – Kraton – Laut Selatan. Tiga titik
sederet ini juga bersesuaian dengan konsep Tri Hita Karana (parahyangan
– pawongan – palemahan). Ketiganya juga melambangkan anasir api (Merapi),
tanah (bumi Kraton), udara (angkasa Kraton), dan air (Laut Selatan) sebagai 4
anasir fisis utama pembentuk dunia dalam kosmogoni Jawa. Dalam bidang biologis,
dipesankan nilai-nilai kesuburan, yakni berpadunya alat kelamin perempuan (yoni;
disimbolkan dengan bangunan Panggung Krapyak) dan alat kelamin laki-laki (lingga;disimbolkan
dengan bangunan Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih). Baik dalam formasi
siklis-konsentris maupun linier, nilai yang hendak disampaikan ialah bahwa
dalam kehidupan hendaklah dibangun dan dijaga sinergi dan harmoni antara
manusia dan alam, yakni hubungan manusia dengan benda-benda tak hidup,
tumbuh-tumbuhan, dan binatang.
Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata rakit keruangan
yang telah dirintis Sri Sultan Hamengku Buwono I dan para penerusnya itu pada
dasarnya, pertama, mengingatkan manusia agar senantiasa sadar diri
(éling) tentang asal-muasal kehidupannya dan tempat kembalinya kelak
(Sang Khalik). Dalam konteks keruangan secara fisik, nilai yang dipesankan
ialah bahwa dalam tata rakit perkotaan atau kawasan, harus senantiasa
disediakan ruang publik dan bangunan yang mencukupi bagi intensitas dan
perkembangan komunikasi manusia dengan Tuhan. Secara lebih umum, tata rakit
keruangan harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya religio-spiritualitas
manusia secara wajar.
Kedua, nilai penting yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan
Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan harmonis.
Dalam konteks keruangan secara fisik, penataan atau tata rakit keruangan harus
disediakan ruang publik yang mencukupi sebagai wahana interaksi antaramanusia
sebagai sarana pengembangan diri manusia secara manusiawi, baik dalam bidang
ekonomi, politik kenegaraan, sosial, maupun kebudayaan. Dengan perkataan lain,
tata rakit atau penataan ruang harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
sosialitas manusia secara wajar.
Ketiga, pesan yang tak kalah penting dalam simbolisasi tata rakit penataan ruang
Yogyakarta ialah tentang nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara
manusia dan alam. Dalam konteks keruangan secara fisik, tata rakit atau
penataan ruang harus dapat menjamin terlaksananya transformasi dan sinergi
energi antaranasir alam, baik yang berupa benda-benda tak-hidup (air, tanah,
bebatuan, udara, api, dsb.), tumbuh-tumbuhan, maupun binatang, sebagai wahana
dan sekaligus pendukung utama bagi kehidupan manusia. Dengan perkataan lain,
penataan atau tata rakit keruangan harus menjunjung tinggi nilai-nilai ekologis
dan mematuhi norma-normanya.
Dalam dunia arsitektur, dua hal utama yang penting ialah citra dan fungsi
atau guna dalam suatu perencanaan sosok bangunan. Suatu sosok bangunan harus
mampu menampilkan citranya sebagai bangunan dengan identitas nilai atau
jatidiri tertentu dan fungsi yang harus diembannya. Kraton sebagai pusat budaya
telah memberi teladan bahwa setiap bangunan senantiasa menggambarkan citra
tertentu dengan muatan identitas nilai yang dikandung dan dipesankannya; dan
fungsi yang melekat pada sosok bangunan sebagai wahana kegiatan manusiawi.
Komponen bentuk atau struktur, besaran, warna, dan material yang dipakai dalam
suatu bangunan harus bersinergi dan harmonis satu sama lain sehingga
mencitrakan identitas nilai-nilai kejawaan yang dikehendaki dan memenuhi fungsi
wahana kegiatan manusiawi. Secara garis besar, citra kejawaan yang ditampilkan
melambangkan nilai-nilai kesakralan (teologis), kesusilaan (etis),
kesopansantunan (etiketis), dan keindahan (estetis). Tiap-tiap bangunan
menyandang citra utamanya masing-masing, meskipun acapkali suatu bangunan
menyandang sejumlah citra sekaligus. Citra dan fungsi harus sinergis dan
selaras. Konsekuensinya, di satu pihak citra harus dapat memenuhi dan
menggambarkan fungsi dan di lain pihak fungsi harus sesuai dengan citra.
Keharmonisan suatu bangunan bukan saja ditentukan oleh komponennya,
melainkan juga ditentukan oleh tata letak atau posisi dan rangkaian tiap-tiap
bangunan sehingga tercipta komposisi dan konfigurasi antarbangunan yang
selaras, serasi, dan seimbang. Suatu dominasi, apalagi kontras antarbangunan
dalam suatu kawasan amat dihindari, karena dominasi atau kontras itu
melambangkan disharmoni. Di samping itu, kegiatan manusiawi harus terjamin
pelaksanaannya secara wajar dan layak oleh fungsi-fungsi yang diberikan oleh
suatu bangunan. Oleh karena itu, suatu bangunan — rumah misalnya, bagi
penghuninya harus layak sebagai ruang tinggal pribadi (longkangan),
sebagai tempat kenyamanan dan kesehatan fisik beserta pemenuhan kebutuhan
keseharian (panggonan), sebagai simbol ekspresi diri dan tempat
interaksi sosio-budaya (palungguhan), dan sebagai tempat berkontemplasi
atau berkomunikasi dengan Tuhan (panepèn).
8. Tata Nilai Mata Pencaharian
Meskipun hidup di dunia hanya sementara, tetapi tugas mulia yang harus
ditunaikan manusia ialah bersungguh-sungguh berusaha keras secara
terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga
kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu
hayuning bawana). Wujud nyata tugas mulia itu dilakukan manusia dengan
bekerja. Orang tidak boleh berpangku tangan saja tanpa bekerja (lungguh
jégang sila tumpang), dengan mengharap rejeki seakan-akan bakal jatuh
dengan sendirinya dari langit (thenguk-thenguk nemu kethuk; ngentèni endogé
blorok). Setiap orang harus bertekad bulat (cancut taliwanda)
berusaha keras (mbudidaya) mengerjakan sesuatu pekerjaan yang berguna
baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat sekitarnya, negaranya,
maupun bagi ummat manusia seluruhnya.
Bekerja harus dilandasi kesungguhan lahir batin menghadapi segala
tantangan, kesulitan, dan risiko yang mungkin timbul. Barang siapa yang takut
dan malas menghadapi tantangan, kesulitan, dan risiko perkerjaan, dia takkan
mendapat hasil yang layak (sapa wania ing gampang, wedia ing éwuh, sabarang
nora tumeka). Dalam menghadapi setiap tantangan, kesulitan, dan risiko
pekerjaan apa pun, orang harus senantiasa berteguh hati dalam berpendirian,
handal dan ulet dalam menghadapi masalah, cakap dan tangkas dalam menyelesaikan
persoalan (tatag, tanggon, trengginas). Dalam menyelesaikan pekerjaan
bersama, masing-masing pihak yang terlibat harus memelihara kebersamaan dan
kekompakan (saiyek saeka kapti) agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan
cepat dan tepat.
Bekerja tidak boleh serampangan, terburu-buru, sembrono, dan asal jadi,
melainkan harus teliti, cermat, dan penuh perhitungan, agar mendapat hasil yang
maksimal (alon-alon waton kelakon, kebat kliwat, gancang pincang). Oleh
karena itu, bekerja harus dirancang dan ditata dengan tertib, diorganisasikan
dan dikelola dengan teratur (tata), semua kegiatan kerja harus
dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi), setiap
sasaran yang dituju harus ditempuh dengan langkah-langkah yang benar dan
tepat (titis), dan semua pekerjaan harus diselesaikan dengan tuntas (tatas)
tanpa menyisakan masalah. Hasil kerja ditentukan oleh seberapa besar pikiran,
tenaga, dan biaya yang dicurahkan. Semakin tinggi hasil yang dikehendaki,
semakin tinggi pula pengorbanan yang dituntut (jer basuki mawa béya).
Diposting dari : http://jogjacultural.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar